Konsep Islam
Dalam Pendidikan Keluarga
“Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksaan neraka”.
[Q.S. At-Tahriim: 6]
Kewajiban itu dapat dilaksanakan dengan mudah dan
wajar karena orang tua memang mencintai anaknya. Ini merupakan sifat manusia
yang dibawanya sejak lahir. Manusia diciptakan manusia mempunyai sifat
mencintai anaknya.
“Harta dan anak-anak merupakan perhiasan kehidupan
dunia”. [Al-Kahfi ayat 46]
Al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa
telah datang kepada Aisyah seorang ibu bersama dua anaknya yang masih kecil.
Aisyah memberikan tiga potong kurma kepada wanita itu. Diberilah oleh
anak-anaknya masing-masing satu, dan yang satu lagi untuknya. Kedua kurma itu
dimakan anaknya sampai habis, lalu mereka menoreh kearah ibunya. Sang ibu
membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya masing-masing sebelah
kepada kedua anaknya. Tiba-tiba Nabi Muhammad SAW datang, lalu diberitahu oleh
Aisyah tentang hal itu. Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Apakah yang mengherankanmu dari kejadian itu,
sesungguhnya Allah telah mengasihinya berkat kasih sayangnya kepada kedua
anaknya”.
Uraian diatas menegaskan bahwa (1) wajib bagi orang
tua menyelenggarakan pendidikan dalam rumah tangganya, dan (2) kewajiban itu
wajar (natural) karena Allah menciptakan orang tua yang bersifat mencintai
anaknya.
Agama Islam secara jelas mengingatkan para orang tua
untuk berhati hati dalam memberikan pola asuh dan memberikan pembinaan keluarga
sakinah, seperti yang termaktub dalam QS Lukman ayat 12 sampai 19. Dan apabila
kita kemudian kaji isi ayat diatas, maka kita akan menemukan beberapa point-point
penting diantaranya adalah :
·
Pembinaan
jiwa orang tua.
Pembinan jiwa orang tua di jelaskan dalam Surah Luqman ayat 12 :
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
Pembinan jiwa orang tua di jelaskan dalam Surah Luqman ayat 12 :
Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.
·
Pembinaan
tauhid kepada anak.
Makna tentang pembinaan tauhid, Luqman Ayat 13 :
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezhaliman yang besar”.
Luqman Ayat 16 :
(Lukman berkata) : Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Yang dimaksud dengan “Allah Maha Halus” ialah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu begamana kecilnya.
Makna tentang pembinaan tauhid, Luqman Ayat 13 :
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah kezhaliman yang besar”.
Luqman Ayat 16 :
(Lukman berkata) : Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
Yang dimaksud dengan “Allah Maha Halus” ialah ilmu Allah itu meliputi segala sesuatu begamana kecilnya.
·
Pembinaan
akidah anak
Mengenai pembinaan akidah ini, Surah Luqman memberikan gambaran yang begitu jelas. Dalam surat tersebut pembinaan akidah pada anak terdapat dalam empat buah ayat yaitu ayat 14, 15, 18 dan ayat ke 19.
Mengenai pembinaan akidah ini, Surah Luqman memberikan gambaran yang begitu jelas. Dalam surat tersebut pembinaan akidah pada anak terdapat dalam empat buah ayat yaitu ayat 14, 15, 18 dan ayat ke 19.
·
Pembinaan
jiwa sosial anak
Pembinaan sosial pada anak dalam keluarga, dijelaskan dalam surat Luqman ini melalui ayat ke 16 dan ayat ke 17. Untuk ayat ke 16 telah disebutkan pada point ke dua. Sedangkan ayat ke 17 dari surat Luqman berbunyi :
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut diutamakan.
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga dikatakan sebagai lingkungan pendidikan pertama karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga dan mendapat pendidikan yang pertama di dalam keluarga. Dikatakan utama karean pendidikan yang terjadi dan berlangsung dalam keluarga ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pendidikan anak selanjutnya. (Maman Rohman, 1991:24).
Para ahli sependapat bahwa betapa pentingnya pendidikan keluarga ini. Mereka mengatakan bahwa apa-apa yang terjadi dalam pendidikan keluarga, membawa pengaruh terhadap lingkungan pendidikan selanjutnya, baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Tujuan dalam pendidikan keluarga atau rumah tangga ialah agar anak mampu berkembang secara maksimal yang meliputi seluruh aspek perkembangan yaitu jasmani, akal dan ruhani. Yang bertindak sebagai pendidik dalam rumah tangga ialah ayah dan ibu si anak. Ingatlah selalu kepada apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadistnya:
“Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah. Maka ibu-bapanyalah yang menasranikanatau menyahudikan atau memajusikannya. (H.R. Bukhari Muslim)
Dari hadist nabi tersebut tergambarkan bagaimana pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga. Dimana dalam hal ini keluarga berperan untuk membentuk pribadi anaknya ke arah yang lebih baik.
Pembinaan sosial pada anak dalam keluarga, dijelaskan dalam surat Luqman ini melalui ayat ke 16 dan ayat ke 17. Untuk ayat ke 16 telah disebutkan pada point ke dua. Sedangkan ayat ke 17 dari surat Luqman berbunyi :
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang patut diutamakan.
Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan yang pertama dan utama. Keluarga dikatakan sebagai lingkungan pendidikan pertama karena setiap anak dilahirkan ditengah-tengah keluarga dan mendapat pendidikan yang pertama di dalam keluarga. Dikatakan utama karean pendidikan yang terjadi dan berlangsung dalam keluarga ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan dan pendidikan anak selanjutnya. (Maman Rohman, 1991:24).
Para ahli sependapat bahwa betapa pentingnya pendidikan keluarga ini. Mereka mengatakan bahwa apa-apa yang terjadi dalam pendidikan keluarga, membawa pengaruh terhadap lingkungan pendidikan selanjutnya, baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat. Tujuan dalam pendidikan keluarga atau rumah tangga ialah agar anak mampu berkembang secara maksimal yang meliputi seluruh aspek perkembangan yaitu jasmani, akal dan ruhani. Yang bertindak sebagai pendidik dalam rumah tangga ialah ayah dan ibu si anak. Ingatlah selalu kepada apa yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadistnya:
“Setiap anak dilahirkan atas dasar fitrah. Maka ibu-bapanyalah yang menasranikanatau menyahudikan atau memajusikannya. (H.R. Bukhari Muslim)
Dari hadist nabi tersebut tergambarkan bagaimana pentingnya pendidikan dalam lingkungan keluarga. Dimana dalam hal ini keluarga berperan untuk membentuk pribadi anaknya ke arah yang lebih baik.
Wanita Karir Dalam Pandangan Islam
·
MUQADDIMAH
Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta Manusia, hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya. Hanya Dia yang Maha Tahu mana yang baik dan memperbaiki hamba-Nya, serta mana yang buruk dan membahayakan mereka. Oleh karena itu, Islam menjadi aturan hidup manusia yang paling baik, paling lengkap dan paling mulia, Hanya Islam yang bisa mengantarkan manusia menuju kebaikan, kemajuan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rosul apabila dia menyerumu kepada sesuatu (ajaran) yang memberi kehidupan kepadamu“. (QS. Al-Anfal: 24).
Allah adalah Dzat yang maha pengasih, maha penyayang dan terus mengurusi makhluk-Nya, oleh karena itu Dia takkan membiarkan makhluknya sia-sia, Allah berfirman:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa ada perintah, larangan dan pertanggung-jawaban)?!” (QS. Al-Qiyamah:36, lihat tafsir Ibnu Katsir 8/283).
Oleh karena itulah, Allah menurunkan syariat-Nya, dan mengharuskan manusia untuk menerapkannya dalam kehidupan, tidak lain agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, lebih maju, lebih mulia, dan lebih bahagia di dunia dan di akhirat.
Islam adalah syariat yang diturunkan oleh Allah Sang Pencipta Manusia, hanya Dia-lah yang Maha Mengetahui seluk beluk ciptaan-Nya. Hanya Dia yang Maha Tahu mana yang baik dan memperbaiki hamba-Nya, serta mana yang buruk dan membahayakan mereka. Oleh karena itu, Islam menjadi aturan hidup manusia yang paling baik, paling lengkap dan paling mulia, Hanya Islam yang bisa mengantarkan manusia menuju kebaikan, kemajuan, dan kebahagiaan dunia akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah seruan Allah dan Rosul apabila dia menyerumu kepada sesuatu (ajaran) yang memberi kehidupan kepadamu“. (QS. Al-Anfal: 24).
Allah adalah Dzat yang maha pengasih, maha penyayang dan terus mengurusi makhluk-Nya, oleh karena itu Dia takkan membiarkan makhluknya sia-sia, Allah berfirman:
أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى
“Apakah manusia mengira, dia akan dibiarkan begitu saja (tanpa ada perintah, larangan dan pertanggung-jawaban)?!” (QS. Al-Qiyamah:36, lihat tafsir Ibnu Katsir 8/283).
Oleh karena itulah, Allah menurunkan syariat-Nya, dan mengharuskan manusia untuk menerapkannya dalam kehidupan, tidak lain agar kehidupan mereka menjadi lebih baik, lebih maju, lebih mulia, dan lebih bahagia di dunia dan di akhirat.
·
NAFKAH, KEWAJIBAN SUAMI
Dalam Islam, yang wajib memberikan nafkah adalah suami. Islam menjadikan suami sebagai kepala keluarga, di pundaknyalah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang isteri memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
Dalam Islam, yang wajib memberikan nafkah adalah suami. Islam menjadikan suami sebagai kepala keluarga, di pundaknyalah tanggung jawab utama lahir batin keluarga. Islam juga sangat proporsional dalam membagi tugas rumah tangga, kepala keluarga diberikan tugas utama untuk menyelesaikan segala urusan di luar rumah, sedang sang isteri memiliki tugas utama yang mulia, yakni mengurusi segala urusan dalam rumah.
Norma-norma ini terkandung dalam firman-Nya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
“Para lelaki (suami) itu pemimpin bagi para wanita (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (yang lelaki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (yang lelaki) telah memberikan nafkah dari harta mereka” (QS. An-Nisa: 34).
·
WANITA TINGGAL DI RUMAH
Perbuatan ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik oleh isteri. Ia harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus anak-anaknya menurut syari’at Islam yang mulia. Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah tangganya, mengurus anak-anaknya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, artinya : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [QS. Al-Ahzaab : 33].
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya : “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : “Wanita adalah aurat. Apabila ia keluar, syaitan akan menghiasinya dari pandangan laki-laki.” [HR.Tirmidzi (no. 1173). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 6690)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata, “Tidak boleh baginya untuk keluar dari rumahnya kecuali mendapat izin dari suami. Seandainya ia keluar tanpa izin dari suaminya, maka ia telah berlaku durhaka dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan wanita tersebut berhak mendapatkan hukuman.” [Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXXII/281)].
Perbuatan ihsan (baik) seorang suami harus dibalas pula dengan perbuatan yang serupa atau yang lebih baik oleh isteri. Ia harus berkhidmat kepada suaminya dan menunaikan amanah mengurus anak-anaknya menurut syari’at Islam yang mulia. Allah ‘Azza wa Jalla telah mewajibkan kepada dirinya untuk mengurus suaminya, mengurus rumah tangganya, mengurus anak-anaknya.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman, artinya : “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyyah dahulu, dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, wahai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” [QS. Al-Ahzaab : 33].
Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan perkataannya : “Maksudnya, hendaklah kalian (para istri) menetapi rumah kalian, dan janganlah keluar kecuali ada kebutuhan. Termasuk diantara kebutuhan yang syar’i adalah keluar rumah untuk shalat di masjid dengan memenuhi syarat-syaratnya” (Tafsir Ibnu Katsir, 6/409).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda, artinya : “Wanita adalah aurat. Apabila ia keluar, syaitan akan menghiasinya dari pandangan laki-laki.” [HR.Tirmidzi (no. 1173). Lihat Shahiihul Jaami’ (no. 6690)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullaah berkata, “Tidak boleh baginya untuk keluar dari rumahnya kecuali mendapat izin dari suami. Seandainya ia keluar tanpa izin dari suaminya, maka ia telah berlaku durhaka dan bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan wanita tersebut berhak mendapatkan hukuman.” [Majmuu' Fataawaa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (XXXII/281)].
·
WANITA BEKERJA DI LUAR RUMAH
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bekerja dan mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Akan tetapi, Islam pada dasarnya tidak melarang wanita untuk bekerja.
Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29). Perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bekerja dan mencari nafkah adalah kewajiban seorang suami sebagai kepala rumah tangga. Akan tetapi, Islam pada dasarnya tidak melarang wanita untuk bekerja.
Wanita boleh bekerja, jika memenuhi syarat-syaratnya dan tidak mengandung hal-hal yang dilarang oleh syari’at.
Syaikh Abdul Aziz Bin Baz mengatakan: “Islam tidak melarang wanita untuk bekerja dan bisnis, karena Alloh jalla wa’ala mensyariatkan dan memerintahkan hambanya untuk bekerja dalam firman-Nya:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah (wahai Muhammad), bekerjalah kalian! maka Alloh, Rasul-Nya, dan para mukminin akan melihat pekerjaanmu“ (QS. At-Taubah:105)
Perintah ini mencakup pria dan wanita. Alloh juga mensyariatkan bisnis kepada semua hambanya, Karenanya seluruh manusia diperintah untuk berbisnis, berikhtiar dan bekerja, baik itu pria maupun wanita, Alloh berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian saling memakan harta sesama kalian dengan jalan yang tidak benar, akan tetapi hendaklah kalian berdagang atas dasar saling rela diantara kalian” (QS. An-Nisa:29). Perintah ini berlaku umum, baik pria maupun wanita.
·
SYARAT WANITA BEKERJA
Meskipun demikian, WAJIB diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, syarat – syarat sebagai berikut :
Meskipun demikian, WAJIB diperhatikan dalam pelaksanaan pekerjaan dan bisnisnya, syarat – syarat sebagai berikut :
o
Bebas dari hal-hal yang menyebabkan
masalah, kemungkaran, membahayakan agama dan kehormatan.
o
Pekerjaannya tidak mengganggu kewajiban
utamanya dalam urusan dalam rumah, karena mengurus rumah adalah pekerjaan
wajibnya, sedang pekerjaan luarnya bukan kewajiban baginya, dan sesuatu yang
wajib tidak boleh dikalahkan oleh sesuatu yang tidak wajib.
o
Harus dengan izin suaminya, karena istri
wajib mentaati suaminya.
o
Menerapkan adab-adab islami, seperti:
Menjaga pandangan, memakai hijab syar’i, tidak memakai wewangian, tidak
melembutkan suaranya kepada pria yang bukan mahrom, dll.
o
Pekerjaannya sesuai dengan tabi’at
wanita, seperti: mengajar, dokter, perawat, penulis artikel, buku, dll.
o
Tidak ada ikhtilat di lingkungan
kerjanya. Hendaklah ia mencari lingkungan kerja yang khusus wanita, misalnya:
Sekolah wanita, perkumpulan wanita, kursus wanita, dll.
o
Hendaklah mencari dulu pekerjaan yang
bisa dikerjakan di dalam rumah. Jika tidak ada, baru cari pekerjaan luar rumah
yang khusus di kalangan wanita. Jika tidak ada, maka ia tidak boleh cari
pekerjaan luar rumah yang campur antara pria dan wanita, kecuali jika keadaannya
darurat atau keadaan sangat mendesak sekali, misalnya suami tidak mampu
mencukupi kehidupan keluarganya, atau suaminya sakit, dll.
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata : Jika dikantornya terjadi campur baur
antara kaum laki-laki dengan kaum wanita, maka wanita tidak boleh bekerja di
sana dengan mitra kerja laki-laki yang sama-sama bekerja di satu tempat
bekerja. Demikian ini karena bisa terjadi fitnah akibat bercampur baurnya kaum
laki-laki dengan kaum wanita.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya terhadap fitnah kaum wanita, beliau mengabarkan bahwa setelah meninggalnya beliau, tidak ada fitnah yang lebih membahayakan kaum laki-laki dari pada fitnahnya kaum wanita, bahkan di tempat-tempat ibadah pun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan jauhnya kaum wanita dari kaum laki-laki, sebagaimana disebutkan dalam salah satu sabda beliau, artinya : “Sebaik-baik shaf kaum wanita adalah yang paling akhir (paling belakang) dan seburuk-buruknya adalah yang pertama (yang paling depan)” [HR. Muslim dalam Ash-Shalah 440].
Karena shaf pertama (paling depan) adalah shaf yang paling dekat dengan shaf kaum laki-laki sehingga menjadi shaf yang paling buruk, sementara shaf yang paling akhir (paling belakang) adalah yang paling jauh dari shaf laki-laki. Ini bukti nyata bahwa syari’at menetapkan agar wanita menjauhi campur baur dengan laki-laki. Dari hasil pengamatan terhadap kondisi umat jelas sekali bahwa campur baurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki merupakan fitnah besar yang mereka akui, namun kini mereka tidak bisa melepaskan diri dari itu begitu saja, karena kerusakan merajalela.[Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.82-83]
Karena itu, pekerjaan/bisnis, seperti jual beli antara mereka bila dipisahkan dengan pria itu boleh, begitu pula dalam pekerjaan mereka. Yang wanita boleh bekerja sebagai dokter, perawat, dan pengajar khusus untuk wanita, yang pria juga boleh bekerja sebagai dokter dan pengajar khusus untuk pria. Adapun bila wanita menjadi dokter atau perawat untuk pria, sebaliknya pria menjadi dokter atau perawat untuk wanita, maka praktek seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat, karena adanya fitnah dan kerusakan di dalamnya.
Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang pria boleh mengurusi wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak adanya wanita yang bisa mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha menjauhi sumber-sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat, dll yang bisa menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika keadaannya darurat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, jilid 28, hal: 103-109)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan umatnya terhadap fitnah kaum wanita, beliau mengabarkan bahwa setelah meninggalnya beliau, tidak ada fitnah yang lebih membahayakan kaum laki-laki dari pada fitnahnya kaum wanita, bahkan di tempat-tempat ibadah pun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menganjurkan jauhnya kaum wanita dari kaum laki-laki, sebagaimana disebutkan dalam salah satu sabda beliau, artinya : “Sebaik-baik shaf kaum wanita adalah yang paling akhir (paling belakang) dan seburuk-buruknya adalah yang pertama (yang paling depan)” [HR. Muslim dalam Ash-Shalah 440].
Karena shaf pertama (paling depan) adalah shaf yang paling dekat dengan shaf kaum laki-laki sehingga menjadi shaf yang paling buruk, sementara shaf yang paling akhir (paling belakang) adalah yang paling jauh dari shaf laki-laki. Ini bukti nyata bahwa syari’at menetapkan agar wanita menjauhi campur baur dengan laki-laki. Dari hasil pengamatan terhadap kondisi umat jelas sekali bahwa campur baurnya kaum wanita dengan kaum laki-laki merupakan fitnah besar yang mereka akui, namun kini mereka tidak bisa melepaskan diri dari itu begitu saja, karena kerusakan merajalela.[Nur ‘Ala Ad-Darb, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, hal.82-83]
Karena itu, pekerjaan/bisnis, seperti jual beli antara mereka bila dipisahkan dengan pria itu boleh, begitu pula dalam pekerjaan mereka. Yang wanita boleh bekerja sebagai dokter, perawat, dan pengajar khusus untuk wanita, yang pria juga boleh bekerja sebagai dokter dan pengajar khusus untuk pria. Adapun bila wanita menjadi dokter atau perawat untuk pria, sebaliknya pria menjadi dokter atau perawat untuk wanita, maka praktek seperti ini tidak dibolehkan oleh syariat, karena adanya fitnah dan kerusakan di dalamnya.
Kecuali dalam keadaan darurat, jika situasinya mendesak seorang pria boleh mengurusi wanita, misalnya pria boleh mengobati wanita karena tidak adanya wanita yang bisa mengobatinya, begitu pula sebaliknya. Tentunya dengan tetap berusaha menjauhi sumber-sumber fitnah, seperti menyendiri, membuka aurat, dll yang bisa menimbulkan fitnah. Ini merupakan pengecualian (hanya boleh dilakukan jika keadaannya darurat). (Lihat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz, jilid 28, hal: 103-109)
·
DAMPAK NEGATIF WANITA BEKERJA DI
LUAR RUMAH
Meskipun pada dasarnya Islam tidak melarang wanita bekerja di luar rumah, namun tetap saja ancaman/bahaya kerusakan dan kemungkaran akan terus ada, seiring dengan kelemahan dan keterbatasan seorang wanita secara khusus dan sebagai manusia secara umum.
Meskipun pada dasarnya Islam tidak melarang wanita bekerja di luar rumah, namun tetap saja ancaman/bahaya kerusakan dan kemungkaran akan terus ada, seiring dengan kelemahan dan keterbatasan seorang wanita secara khusus dan sebagai manusia secara umum.
o
Bahaya bagi wanita itu, yaitu akan
hilangnya sifat dan karakteristik kewanitaannya, menjadi asing dengan tugas
rumah tangga dan kurangnya perhatian terhadap anaknya.
o
Bahaya bagi diri suami, yaitu suami akan
kehilangan curahan kelembutan, keramahan, dan kegembiraan. Justru yang didapat
adalah keributan dan keluhan-keluhan seputar kerja, persaingan karir antar
teman, baik laki-laki maupun wanita. Bahkan, tidak jarang suami kehilangan
kepemimpinannya lantaran gaji isteri lebih besar. Wallaahul Musta’aan.
o
Bahaya (dampak) bagi anak, yaitu
hilangnya kelembutan, kasih sayang dan kedekatan dari seorang ibu. Semua itu
tidak dapat digantikan oleh seorang pembantu atau pun seorang guru. Justru yang
didapati anak adalah seorang ibu yang pulang dalam keadaan letih dan tidak
sempat lagi memperhatikan pendidikan anak-anaknya.
o
Bahaya (dampak negatif) bagi kaum
laki-laki secara umum, yaitu apabila semua wanita keluar dari rumahnya untuk
bekerja, maka secara otomatis mereka telah menghilangkan kesempatan bekerja
bagi laki-laki yang telah siap untuk bekerja.
o
Bahaya (dampak negatif) bagi pekerjaan
tersebut, yaitu bahwa fakta di lapangan menunjukkan bahwa wanita lebih banyak
memiliki halangan dan sering absen karena banyaknya sisi-sisi alami (fitrah)nya
yang berpengaruh terhadap efisiensi kerja, seperti haidh, melahirkan, nifas,
dan lainnya.
o
Bahaya (dampak negatif) bagi
perkembangan moral, yaitu hilangnya kemuliaan akhlak, kebaikan moral serta
hilangnya rasa malu dari seorang wanita. Juga hilangnya kemuliaan akhlak dan
semangat kerja dari kaum suami. Anak-anak pun menjadi jauh dari pendidikan yang
benar semenjak kecil.
o
Bahaya (dampak negatif) bagi masyarakat,
yaitu bahwa fenomena ini telah mengeluarkan manusia dari fitrahnya dan telah
menempatkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sehingga mengakibatkan rusaknya
tatanan hidup dan timbulnya kekacauan serta keributan. [Shahiih Washaaya Rasuul
lin Nisaa' (hal. 469-470)].
·
ISU EMANSIPASI DAN SYUBHAT
Isu emansipasi yang digembar-gemborkan telah menjadikan sebagian besar kaum wanita terpengaruh untuk keluar rumah dan melalaikan kewajiban yang paling utama sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga. Bahkan, mereka berani berdalih dengan tidak cukupnya penghasilan yang diperoleh suaminya, meskipun dia telah memiliki rumah atau kendaraan atau harta lainnya yang banyak. Hal ini menjadi sebab timbulnya malapetaka di dalam rumah tangga.
Tidak jarang justru keluarganya menjadi berantakan karena anaknya terlibat kasus narkoba, atau kenakalan, atau hubungan suami isteri menjadi tidak harmonis karena isteri lebih sibuk dengan urusan kantornya, bisnis, dagang, dan sebab-sebab lain yang sangat banyak disebabkan lalainya sang isteri.
Kadang terbetik dalam benak kita, mengapa Islam terkesan mengekang wanita?!
Inilah doktrin yang selama ini sering dijejalkan para musuh Islam, mereka menyuarakan pembebasan wanita, padahal dibalik itu mereka ingin menjadikan para wanita sebagai obyek nafsunya, mereka ingin bebas menikmati keindahan wanita, dengan lebih dahulu menurunkan martabatnya, mereka ingin merusak wanita yang teguh dengan agamanya agar mau mempertontonkan auratnya, sebagaimana mereka telah merusak kaum wanita mereka.
Lihatlah kaum wanita di negara-negara barat, meski ada yang terlihat mencapai posisi yang tinggi dan dihormati, tapi kebanyakan mereka dijadikan sebagai obyek dagangan hingga harus menjual kehormatan mereka, penghias motor dan mobil dalam lomba balap, penghias barang dagangan, pemoles iklan-iklan di berbagai media informasi, dll. Wanita mereka dituntut untuk berkarir padahal itu bukan kewajiban mereka, sehingga menelantarkan kewajiban mereka untuk mengurus dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus. Selanjutnya rusaklah tatanan kehidupan masyarakat mereka. Tidak berhenti di sini, mereka juga ingin kaum wanita kita rusak, sebagaimana kaum wanita mereka rusak lahir batinnya, dan diantara langkah awal menuju itu adalah dengan mengajak kaum wanita kita -dengan berbagai cara- agar mau keluar dari rumah mereka.
Cobalah lihat secuil pengakuan orang barat sendiri, tentang sebab rusaknya tatanan masyarakat mereka berikut ini:
Samuel Smills: “Sungguh aturan yang menyuruh wanita untuk berkarir di tempat-tempat kerja, meski banyak menghasilkan kekayaan untuk negara, tapi akhirnya justru menghancurkan kehidupan rumah tangga, karena hal itu merusak tatanan rumah tangga, merobohkan sendi-sendi keluarga, dan merangsek hubungan sosial kemasyarakatan, karena hal itu jelas akan menjauhkan istri dari suaminya, dan menjauhkan anak-anaknya dari kerabatnya, hingga pada keadaan tertentu tidak ada hasilnya kecuali merendahkan moral wanita, karena tugas hakiki wanita adalah mengurus tugas rumah tangganya…”.
Dr. Iidaylin: “Sesungguhnya sebab terjadinya krisis rumah tangga di Amerika, dan rahasia dari banyak kejahatan di masyarakat, adalah karena istri meninggalkan rumahnya untuk meningkatkan penghasilan keluarga, hingga meningkatlah penghasilan, tapi di sisi lain tingkat akhlak malah menurun… Sungguh pengalaman membuktikan bahwa kembalinya wanita ke lingkungan (keluarga)-nya adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi baru dari kemerosotan yang mereka alami sekarang ini”. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, jilid 1, hal: 425-426)
Lihatlah, bagaimana mereka yang obyektif mengakui imbas buruk dari keluarnya wanita dari rumah untuk berkarir… Sungguh Islam merupakan aturan dan syariat yang paling tepat untuk manusia, Aturan itu bukan untuk mengekang, tapi untuk mengatur jalan hidup manusia, menuju perbaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat… Islam dan pemeluknya, ibarat terapi dan tubuh manusia, Islam akan memperbaiki keadaan pemeluknya, sebagaimana terapi akan memperbaiki tubuh manusia… Islam dan pemeluknya, ibarat UU dan penduduk suatu negeri, Islam mengatur dan menertibkan kehidupan manusia, sebagaimana UU juga bertujuan demikian…
Jadi Islam tidak mengekang wanita, tapi mengatur wanita agar hidupnya menjadi baik, selamat, tentram, dan bahagia dunia akhirat. Begitulah cara Islam menghormati wanita, menjauhkan mereka dari pekerjaan yang memberatkan mereka, menghidarkan mereka dari bahaya yang banyak mengancam mereka di luar rumah, dan menjaga kehormatan mereka dari niat jahat orang yang hidup di sekitarnya…
Isu emansipasi yang digembar-gemborkan telah menjadikan sebagian besar kaum wanita terpengaruh untuk keluar rumah dan melalaikan kewajiban yang paling utama sebagai seorang isteri dan ibu rumah tangga. Bahkan, mereka berani berdalih dengan tidak cukupnya penghasilan yang diperoleh suaminya, meskipun dia telah memiliki rumah atau kendaraan atau harta lainnya yang banyak. Hal ini menjadi sebab timbulnya malapetaka di dalam rumah tangga.
Tidak jarang justru keluarganya menjadi berantakan karena anaknya terlibat kasus narkoba, atau kenakalan, atau hubungan suami isteri menjadi tidak harmonis karena isteri lebih sibuk dengan urusan kantornya, bisnis, dagang, dan sebab-sebab lain yang sangat banyak disebabkan lalainya sang isteri.
Kadang terbetik dalam benak kita, mengapa Islam terkesan mengekang wanita?!
Inilah doktrin yang selama ini sering dijejalkan para musuh Islam, mereka menyuarakan pembebasan wanita, padahal dibalik itu mereka ingin menjadikan para wanita sebagai obyek nafsunya, mereka ingin bebas menikmati keindahan wanita, dengan lebih dahulu menurunkan martabatnya, mereka ingin merusak wanita yang teguh dengan agamanya agar mau mempertontonkan auratnya, sebagaimana mereka telah merusak kaum wanita mereka.
Lihatlah kaum wanita di negara-negara barat, meski ada yang terlihat mencapai posisi yang tinggi dan dihormati, tapi kebanyakan mereka dijadikan sebagai obyek dagangan hingga harus menjual kehormatan mereka, penghias motor dan mobil dalam lomba balap, penghias barang dagangan, pemoles iklan-iklan di berbagai media informasi, dll. Wanita mereka dituntut untuk berkarir padahal itu bukan kewajiban mereka, sehingga menelantarkan kewajiban mereka untuk mengurus dan mendidik anaknya sebagai generasi penerus. Selanjutnya rusaklah tatanan kehidupan masyarakat mereka. Tidak berhenti di sini, mereka juga ingin kaum wanita kita rusak, sebagaimana kaum wanita mereka rusak lahir batinnya, dan diantara langkah awal menuju itu adalah dengan mengajak kaum wanita kita -dengan berbagai cara- agar mau keluar dari rumah mereka.
Cobalah lihat secuil pengakuan orang barat sendiri, tentang sebab rusaknya tatanan masyarakat mereka berikut ini:
Samuel Smills: “Sungguh aturan yang menyuruh wanita untuk berkarir di tempat-tempat kerja, meski banyak menghasilkan kekayaan untuk negara, tapi akhirnya justru menghancurkan kehidupan rumah tangga, karena hal itu merusak tatanan rumah tangga, merobohkan sendi-sendi keluarga, dan merangsek hubungan sosial kemasyarakatan, karena hal itu jelas akan menjauhkan istri dari suaminya, dan menjauhkan anak-anaknya dari kerabatnya, hingga pada keadaan tertentu tidak ada hasilnya kecuali merendahkan moral wanita, karena tugas hakiki wanita adalah mengurus tugas rumah tangganya…”.
Dr. Iidaylin: “Sesungguhnya sebab terjadinya krisis rumah tangga di Amerika, dan rahasia dari banyak kejahatan di masyarakat, adalah karena istri meninggalkan rumahnya untuk meningkatkan penghasilan keluarga, hingga meningkatlah penghasilan, tapi di sisi lain tingkat akhlak malah menurun… Sungguh pengalaman membuktikan bahwa kembalinya wanita ke lingkungan (keluarga)-nya adalah satu-satunya jalan untuk menyelamatkan generasi baru dari kemerosotan yang mereka alami sekarang ini”. (lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, jilid 1, hal: 425-426)
Lihatlah, bagaimana mereka yang obyektif mengakui imbas buruk dari keluarnya wanita dari rumah untuk berkarir… Sungguh Islam merupakan aturan dan syariat yang paling tepat untuk manusia, Aturan itu bukan untuk mengekang, tapi untuk mengatur jalan hidup manusia, menuju perbaikan dan kebahagiaan dunia dan akhirat… Islam dan pemeluknya, ibarat terapi dan tubuh manusia, Islam akan memperbaiki keadaan pemeluknya, sebagaimana terapi akan memperbaiki tubuh manusia… Islam dan pemeluknya, ibarat UU dan penduduk suatu negeri, Islam mengatur dan menertibkan kehidupan manusia, sebagaimana UU juga bertujuan demikian…
Jadi Islam tidak mengekang wanita, tapi mengatur wanita agar hidupnya menjadi baik, selamat, tentram, dan bahagia dunia akhirat. Begitulah cara Islam menghormati wanita, menjauhkan mereka dari pekerjaan yang memberatkan mereka, menghidarkan mereka dari bahaya yang banyak mengancam mereka di luar rumah, dan menjaga kehormatan mereka dari niat jahat orang yang hidup di sekitarnya…
·
PENUTUP
Solusi atas problema wanita bekerja di luar rumah, tergantung pada kondisi atau keadaan seorang wanita. Apakah sang suami mengijinkannya untuk bekerja? Apa pekerjaannya tidak mengganggu tugas utama dalam rumah tangga? Apa tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan dalam rumah? Jika lingkungan kerja yang ada keadaannya ikhtilat (campur antara pria dan wanita), apa tidak ada pekerjaan lain yang lingkungannya tidak ikhtilat? Jika tidak ada, apakah bekerjanya seorang wanita sudah dalam kondisi darurat, sehingga apabila tidak bekerja , akan terancam hidupnya atau paling tidak hidupnya akan terasa amat berat? Jika memang demikian, sudahkah sang wanita/isteri menerapkan adab-adab islami ketika keluar rumah? Insya Allah dengan uraian di atas, kita bisa menjawab problema tersebut di atas…
Memang, seringkali kita butuh waktu dan step by step dalam menerapkan syariat dalam kehidupan kita, tapi peganglah terus firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Alloh semampumu!” (QS. At-Taghabun:16)
dan firman-Nya (yang artinya):
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Jika tekadmu sudah bulat, maka tawakkal-lah kepada Alloh!” (QS. Al Imran:159),
juga sabda Rasul -shallallahu alaihi wasallam- “Ingatlah kepada Allah ketika dalam kemudahan, niscaya Allah akan mengingatmu ketika dalam kesusahan!” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani), dan juga sabdanya:
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد وقال الألباني: سنده صحيح على شرط مسلم)
“Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada Alloh azza wajall, melainkan Alloh pasti akan memberimu ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani).
Solusi atas problema wanita bekerja di luar rumah, tergantung pada kondisi atau keadaan seorang wanita. Apakah sang suami mengijinkannya untuk bekerja? Apa pekerjaannya tidak mengganggu tugas utama dalam rumah tangga? Apa tidak ada pekerjaan yang bisa dikerjakan dalam rumah? Jika lingkungan kerja yang ada keadaannya ikhtilat (campur antara pria dan wanita), apa tidak ada pekerjaan lain yang lingkungannya tidak ikhtilat? Jika tidak ada, apakah bekerjanya seorang wanita sudah dalam kondisi darurat, sehingga apabila tidak bekerja , akan terancam hidupnya atau paling tidak hidupnya akan terasa amat berat? Jika memang demikian, sudahkah sang wanita/isteri menerapkan adab-adab islami ketika keluar rumah? Insya Allah dengan uraian di atas, kita bisa menjawab problema tersebut di atas…
Memang, seringkali kita butuh waktu dan step by step dalam menerapkan syariat dalam kehidupan kita, tapi peganglah terus firman-Nya:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertaqwalah kepada Alloh semampumu!” (QS. At-Taghabun:16)
dan firman-Nya (yang artinya):
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ
“Jika tekadmu sudah bulat, maka tawakkal-lah kepada Alloh!” (QS. Al Imran:159),
juga sabda Rasul -shallallahu alaihi wasallam- “Ingatlah kepada Allah ketika dalam kemudahan, niscaya Allah akan mengingatmu ketika dalam kesusahan!” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani), dan juga sabdanya:
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا اتِّقَاءَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا أَعْطَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مِنْهُ (رواه أحمد وقال الألباني: سنده صحيح على شرط مسلم)
“Sungguh kamu tidak meninggalkan sesuatu karena takwamu kepada Alloh azza wajall, melainkan Alloh pasti akan memberimu ganti yang lebih baik darinya” (HR. Ahmad, dan di-shahih-kan oleh Albani).
Tonggak Islam Pertama yang Berusaha Tetap Tegak
Sumatera mengawali jejak perjalanan Islam di nusantara.
Di bagian utara pulau ini pernah berdiri Kerajaan Samudera Pasai yang merupakan
kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu
pada tahun 1267 M. Kerajaan yang berdiri di tanah Aceh itu bahkan pernah
dikunjungi Ibnu Batutah, pengembara muslim paling ternama sepanjang sejarah.
Daftar sejarah itu bila dirunut ke belakang bisa lebih
panjang, karena menurut data sejarah di Aceh Timur, pada abad ke-9 pernah
berdiri kerajaan Perlak yang kemudian menggabungkan diri dengan Pasai.
Kekayaan khazanah Islam Sumatera lalu dilanjutkan dengan berdirinya kerajaan Malaka (1402 – 1511) yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang menyelamatkan diri dari perebutan Palembang oleh Majapahit. Nama Malaka kemudian masyhur sebagai salah satu pelabuhan penting di dunia. Portugis, Belanda dan Inggris pun merapat di sana.
Kekayaan khazanah Islam Sumatera lalu dilanjutkan dengan berdirinya kerajaan Malaka (1402 – 1511) yang didirikan oleh Parameswara, seorang putera Sriwijaya yang menyelamatkan diri dari perebutan Palembang oleh Majapahit. Nama Malaka kemudian masyhur sebagai salah satu pelabuhan penting di dunia. Portugis, Belanda dan Inggris pun merapat di sana.
Masih di bagian Utara Sumatera berdiri Kesultanan Aceh
Darussalam pada tahun 1360 dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Sultan Ali
Mughayat Syah dinobatan sebagai Sultan pertama pada Ahad, 1 Jumadil Awwal 913 H
bertepatan pada 8 September 1507. Selain masyhur dengan sistem pendidikan
militer yang baik, komitmennya dalam menentang imperialisme Eropa, sistem pemerintahan teratur dan sistematik,
kesultanan Aceh merupakan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan terutama
Islam.
Kesultanan Aceh melahirkan beberapa ulama ternama.
Karya-karya mereka menjadi rujukan utama dalam bidang masing-masing.
Tersebutlah Hamzah Fansuri dengan karyanya Tabyan fi Ma’rifati al-Udyan.
Syamsuddin al-Sumatrani dengan Miraj al-Muhakikin al Iman. Nuruddin ar-Raniry
dengan Sirat al-Mmustaqim. Syekh Abdul Rauf Singkili dengan Mi’raj al Tulabb fi
Fashil.
Beranjak ke Selatan ada lagi kerajaan Dharmasraya atau
Kerajaan Melayu Jambi yang berdiri sekitar abad ke-11 Masehi. Lokasinya terletak
di selatan Sawahlunto, Sumatera Barat sekarang dan di utara Jambi. Terdapat
juga kerajaan Lingga-Riau yang merupakan perpecahan dari Kesultanan Johor. Pada
masa kesultanan ini bahasa Melayu menjadi bahasa standar yang sejajar dengan
bahasa-bahsa besar lain dunia, yang kaya dengan susastra dan memiliki kamus
ekabahasa. Tokoh besar di belakang perkembangan pesat bahasa Melayu ini adalah
Raja Ali Haji, seorang pujangga dan sejarawan keturunan Melayu-Bugis.
Di luar itu berdiri kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar
di banyak tempat di pulau Sumatera seperti di Padang (Sumatera Barat),
Palembang (Sumatera Selatan), Medan (Sumatera Utara) dan Bengkulu. Perkembangan
Islam di daerah Padang bahkan diwarnai dengan masuknya aliran Wahabi dan
memberi warna khas bagi pergerakan nasional lewat golongan paderi.
PETIK LAUT MUNCAR
Dalam
tiap bulan Muharam atau Syuro dalam penanggalan Jawa, bukan hanya petani,
nelayan pun menggelar ritual untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan. Waktu
pelaksanaan petik laut tiap tahun berubah karena berdasarkan penanggalan
Qamariah dan kesepakatan pihak nelayan. Biasanya digelar saat bulan purnama,
karena nelayan tidak melaut, mengingat pada saat itu terjadi air laut pasang
Tujuan utama diadakannya ritual petik laut adalah
untuk untuk memohon berkah rezeki dan keselamatan sekaligus ungkapan terima
kasih kepada Tuhan.
Di
Muncar ( sekitar 35 kilometer dari kota Banyuwangi ), ritual ini berkembang
setelah kehadiran warga Madura yang terkenal sebagai pelaut. Tak mengherankan,
jika petik laut selalu dipenuhi ornamen suku Madura. Salah satunya, seragam
pakaian Sakera, baju hitam dan membawa clurit, simbol kebesaran warga Madura
yang pemberani.
Seragam
Sakera tersebut disiapkan khusus untuk upacara dan hanya dipakai sekali, jika
ada upacara adat lain atau petik laut tahun depan, seragam harus dibuat lagi
,demi ke-sakralan upacara. Petugas Sakera dipilih yang berbadan besar. Biasanya
mereka berpenampilan sangar dan angker. Dengan kumis tebal dan gelang besar,
Sakera juga diharuskan berpenampilan lucu.
Sakera
juga menjadi pengaman jalanya ritual. Mereka selalu berjalan di depan mengawal
sesaji dari lokasi upacara ke tengah laut. Mereka mengatur warga yang ingin
berebut naik perahu. Sakera mirip Pecalang di Bali. Sesepuh adat juga
mengenakan baju Sakera, serba hitam. Bagian dalam kaus loreng merah putih.
Udengnya batik merah tua.
Bagi
nelayan Muncar, petik laut adalah gawe besar yang tidak boleh ditinggalkan.
Hari yang dipilih bulan purnama, tepat tanggal 15 di penanggalan Jawa.
Prosesi Ritual
Ritual
diawali pembuatan sesaji oleh sesepuh nelayan. Mereka adalah keturunan warga
Madura yang sudah ratusan tahun turun-temurun mendiami pelabuhan Muncar.
Disiapkan perahu kecil ( perahu sesaji ) dibuat seindah mungkin mirip kapal
nelayan yang biasa digunakan melaut. Pada malam harinya, di tempat perahu untuk
sesaji dipersiapkan dilakukan tirakatan. Di beberapa surau atau rumah diadakan
pengajian atau semaan sebelum perahu sesaji dilarung ke laut.
Perahu
diisi puluhan jenis hasil bumi dan makanan yang seluruhnya dimasak keluarga
sesepuh adat. Jenis makanan berbagai jajanan, nasi tumpeng dan buah-buahan,
ditata rapi di perahu kecil tadi. Sesaji yang sudah jadi disebut gitek.
Pada
hari yang ditentukan, ratusan nelayan berkumpul di rumah sesepuh adat sejak
pagi. Mereka menggunakan baju khas Madura sambil membawa senjata clurit.
Menjelang siang, sesaji diarak menggunakan dokar menuju pantai. Sepanjang
iring-iringan, dua penari Gandrung ikut mendampingi. Bunyi gamelan Gandrung
mengalun indah.
Nelayan
menari sambil mengacungkan senjata cluritnya. Di depannya, dukun membawa abu
kemenyan. Sambil melantunkan doa, dukun menyebarkan beras kuning simbol tolak
bala.
Ribuan
warga berdiri di sepanjang jalan mengamati perjalanan sesaji ( ider bumi ).
Begitu lewat, warga berhamburan mengikuti di belakang menuju pantai.
Arak-arakan berakhir di tempat pelelangan ikan ( TPI ), yang dihadiri jajaran
Muspida Banyuwangi dan pejabat setempat.
Sesaji
tiba disambut enam penari Gandrung. Setelah doa, sesaji diarak menuju perahu.
Warga berebut untuk bisa naik perahu pengangkut sesaji. Namun, petugas
membatasi penumpang yang ikut ke tengah. Sebelum diberangkatkan, kepala daerah
diwajibkan memasang pancing emas di lidah kepala kambing. Ini simbol permohonan
nelayan agar diberi hasil ikan melimpah. Menjelang tengah hari, iring-iringan perahu
bergerak ke laut. Bunyi mesin diesel menderu membelah ombak. Suara gemuruh
lewat sound-system menggema di tiap perahu. Dari kejauhan barisan perahu berukuran besar
bergerak kencang. Hiasan umbul-umbul berkibar menambah suasana makin sakral.
Begitu padatnya perahu yang bergerak, sempat terjadi beberapa kali tabrakan
kecil. Iring-iringan berakhir di sebuah
lokasi berair tenang, dekat semenanjung Sembulungan. Kawasan ini sering disebut
Plawangan. Seluruh perahu berhenti sejenak. Dipimpin sesepuh nelayan, sesaji
pelan-pelan diturunkan dari perahu. Teriakan syukur menggema begitu sesaji
jatuh dan tenggelam ditelan ombak.
Begitu
sesaji tenggelam, para nelayan berebut menceburkan diri ke laut. Mereka berebut
mendapatkan sesaji. Nelayan juga menyiramkan air yang dilewati sesaji ke
seluruh badan perahu. "Kami percaya air ini menjadi pembersih malapetaka
dan diberkati ketika melaut nanti," kata Mat Roji, sesepuh nelayan Muncar.
Dari Plawangan, iring-iringan perahu bergerak menuju Sembulungan. Di tempat
ini, nelayan kembali melarung sesaji ke dua kalinya. Hanya, jumlahnya lebih
sedikit. Sebuah sasaji ditempatkan di nampan bambu dilarung pelan-pelan. Konon
ini memberikan persembahan bagi penunggu tanjung Sembulungan.
Selesai
larung sesaji, pesta nelayan dilanjutkan di pantai Sembulungan. , ke
Makam Sayid Yusuf, beliau adalah orang pertama yang membuka daerah tersebut.
Disinilah biasanya tari Gandrung dan gending-gending klasik suku Using di
pentaskan, hingga sore hari. Di tempat ini para nelayan juga mempersembahkan
sesaji. Ritual diakhiri selamatan dan doa bersama.
Ritual
petik laut wajib menghadirkan dua penari Gandrung yang masih perawan. Konon,
ini berkaitan ritual petik laut pertama kali di Tanjung Sembulungan. Kala itu,
seorang penari Gandrung mendadak meninggal dan dimakamkan di pinggir pantai.
Sejak itu, petik laut wajib menghadirkan penari Gandrung. Memilih penari
Gandrung yang berani ikut ke tengah laut dan mendampingi sesaji tidak gampang
dan melalui seleksi khusus. Gandrung yang ikut mengarak sesaji hanya boleh
sekali diundang. Tahun berikutnya akan diganti Gandrung lain.
Di
sepanjang perjalanan, di atas perahu penari terus melenggang diiringi gamelan.
Mereka melantunkan gending-gending Using. Isinya ungkapan suka-cita perayaan
petik laut. Puluhan nelayan yang mengiringi gandrung ikut menari di atas
perahu. Biasanya sepulang pulang dari sembulungan perahu nelayan yang akan
mendarat di guyur dengan air laut yang di gambarkan sebagai guyuran Shang Hyang
Iwak, sebagai Dewi laut. Selain di Muncar, nelayan di pantai Grajagan, Pancer,
dan Bulusan juga menggelar ritual petik laut pada Muharam.
Eksistensi
Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya ditunjukkan oleh
kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina, teks lokal Jawa
maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai peninggalan
purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina yang cukup
kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16 telah
terjalin apa yang disebut Sino-Javanese
Muslim Culture.
Sejauh
ini, perbincangan mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia masih didominasi
dua teori yang sudah klasik dan klise, serta disinyalir penulis buku ini
mengandung penanaman ideologi otentisitas. Bias ideologi otentisitas itu
kira-kira menyatakan, kalau Islam yang datang ke Nusantara bukan berasal dari
tanah Arab atau Timur Tengah, maka nilai kesahihan dan ke-afdhal-annya akan
dipertanyakan. Makanya, teori pertama tentang
datangnya Islam di Nusantara menyatakan bahwa Islam dibawa ke Nusantara oleh
para pedagang yang berasal dari Arab/Timur Tengah. Teori ini dikenal sebagai
teori Arab, dan dipegang oleh Crawfurd, Niemann, de Holander. Bahkan Fazlur Rahman
juga mengikuti mazhab ini (Rahman: 1968). Kedua adalah teori India. Teori ini
menyatakan bahwa Islam yang datang ke Nusantara berasal dari India. Pelopor
mazhab ini adalah Pijnapel yang kemudian diteliti lebih lanjut oleh Snouck,
Fatimi, Vlekke, Gonda, dan Schrieke (Drewes: 1985; Azra: 1999).
Terlepas
dari dua teori di atas, para sejarahwan umumnya melupakan satu komunitas yang
juga memberikan kontribusi cukup besar atas berkembangnya Islam di Nusantara,
khususnya Jawa. Mereka adalah komunitas Cina-muslim. Meskipun selama ini
terdapat beberapa kajian tentang muslim Cina di Jawa, tapi uraiannya sangat
terbatas, partikular dan spesifik (hanya menyakup aspek-aspek tertentu saja) di
samping sumber-sumber yang dipakai untuk merekonstruksi sejarah juga masih terbatas.
Makanya, sampai kini bisa dikatakan, belum ada satu karya ilmiah yang membahas
secara ekstensif mengenai kontribusi muslim Cina di Indonesia.
Padahal,
eksistensi Cina-muslim pada awal perkembangan Islam di Jawa tidak hanya
ditunjukkan oleh kesaksian-kesaksian para pengelana asing, sumber-sumber Cina,
teks lokal Jawa maupun tradisi lisan saja, melainkan juga dibuktikan pelbagai
peninggalan purbakala Islam di Jawa. Ini mengisaratkan adanya Pengaruh Cina
yang cukup kuat, sehingga menimbulkan dugaan bahwa pada bentangan abad ke-15/16
telah terjalin apa yang disebut Sino-Javanese
Muslim Culture. Ukiran padas di masjid kuno Mantingan-Jepara, menara
masjid pecinaan Banten, konstruksi pintu makam Sunan Giri di Gresik, arsitektur
keraton Cirebon beserta taman Sunyaragi, konstruksi masjid Demak—terutama soko
tatal penyangga masjid beserta lambang kura-kura, konstruksi masjid Sekayu di
Semarang dan sebagainya, semuanya menunjukkan pengaruh budaya Cina yang cukup
kuat. Bukti lain dapat ditambah dari dua bangunan masjid yang berdiri megah di
Jakarta, yakni masjid Kali Angke yang dihubungkan dengan Gouw Tjay dan Masjid
Kebun Jeruk yang didirikan oleh Tamien Dosol Seeng dan Nyonya Cai.
Nah,
pelacakan Sumanto dalam buku ini tidak berhenti di situ. Ia mendapati bahwa
pada nama tokoh yang menjadi agen sejarah, ternyata telah terjadi verbastering dari nama Cina ke nama
Jawa. Nama Bong Ping Nang misalnya, kemudian terkenal dengan nama Bonang. Raden
Fatah yang punya julukan pangeran Jin Bun, dalam bahasa Cina berarti “yang
gagah”. Raden Sahid (nama lain Sunan Kalijaga) berasal dari kata “sa-it” (sa =
3, dan it = 1; maksudnya 31) sebagai peringatan waktu kelahirannya di masa
ayahnya berusia 31 tahun.
Dengan
ditemukannya beberapa fakta sejarah di atas, seharusnya etnis Cina mendapatkan
perlakukan yang proposional dari pihak pribumi, khususnya warga muslim. Sikap
ramah perlu mereka tunjukkan kepada mereka, sebagaimana sikap terhadap warga
negara Indonesia asli keturunan Arab, India, atau Eropa. Namun yang terjadi
sepanjang sejarah dan saat ini justru sebaliknya. Pada etnis Cina sebagai
komunitas etnis, di mata masyarakat telah melekat sifat-sifat yang mengandung
unsur peyoratif seperti kikir, eksklusif, hingga identik dengan Konghuchu.
Inilah sebagian pandangan yang diwariskan pihak Belanda kepada masyarakat Jawa
di saat institusi kolonial itu mulai mengukuhkan hegemoninya di negeri ini.
Sikap antipati yang diwarisi dari Belanda itu berawal dari hubungan harmonis
yang terjalin antara masyarakat Jawa dengan etnis Cina, baik di bidang ekonomi,
sosial, maupun politik pada zaman Belanda mulai menjajah Indonesia. Demi
melihat itu semua, kontan Belanda merasa tersaingi, terutama di dalam bidang
perdagangan. Puncaknya, Jendral Andrian Valckeiner, mengadakan pembantaian massal
atas etnis Cina, yang kemudian dikenal dengan chinezenmoord (pembantaian orang Cina) yang terjadi pada bulan
oktober tahun 1740. Setelah tragedi itu, di Kudus juga terjadi pertikaian yang
disulut oleh semangat anti-Cina. Ini belum lagi ditambahkan berbagai peristiwa
berdarah di negeri ini yang melampiaskan objek kemarahannya pada etnis Cina
pada umumnya.
Tidak
hanya berhenti disitu, setelah peristiwa 1740, VOC mengeluarkan kebijakan yang
disebut passenstelsel, yakni
keharusan bagi setiap orang Cina untuk mempunyai surat jalan khusus apabila
hendak bepergian ke luar distrik tempat dia tinggal. Selain passenstelsel, VOC juga mengeluarkan
peraturan wijkenstelsel.
Peraturan ini melarang orang Cina untuk tinggal di tengah kota dan mengharuskan
mereka membangun “gettho-gettho” berupa pecinan sebagai tempat tinggal. Kedua
kebijakan tersebut bermaksud agar mereka mudah diawasi dan dikontrol. Inilah
salah satu bentuk politik rasialisme anti-Cina pertama di Jawa, yang lambat
laun menciptakan status “in-group” dan
“out-group” dalam lapisan
masyarakat.Kategori ini kelak menciptakan segregasi sosial-politik-ekonomi Cina
dengan pribumi.
Namun
argumen yang dipaparkan di atas bukan berarti melegitimasi etnis Cina—baik
muslim maupun non muslim—untuk meminta penghargaan atas kontribusi nenek moyang
mereka atas islamisasi Jawa, dengan penghormatan yang layak tanpa memperbaiki
sikap dengan cara menunjukkan iktikad baik dalam bersosialisasi dengan pribumi.
Yang seharusnya terjadi di antara etnis Cina—muslim dan non muslim—dengan
pribumi adalah simbiosis mutualisme.
Para
sejarahwan yang menyangsikan kontribusi Cina-muslim atas Islamisasi Jawa,
umumnya berangkat dari kenyataan sejarah bahwa aliran keagamaan yang dibawa dan
dikembagkan oleh Cina-muslim adalah mazhab Hanafi yang berciri rasionalistik.
Sedangkan penduduk muslim di Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i.
Alasan paling mungkin untuk menjelaskan fenomena ini adalah telah terjadi
perpindahan mazhab beberapa muslim dari Hanafi ke Syafi’i. Hal itu didorong oleh
realitas sosiologis masyarakat Jawa yang tidak memungkinkan persemaian mazhab
Hanafi yang rasionalistik. Sebaliknya mazhab Syafi’i dinilai lebih kompatibel
dengan semangat kebudayaan masyarakat Jawa yang tidak bisa dilepaskan dari
tradisi lokal (local tradition).
Daerah
yang dijadikan sebagai objek kajian oleh Sumanto adalah Jawa. Satu hal yang
membedakan antara tesis yang dihasilkan penulis buku ini dengan Azyumardi Azra
dalam bukunya Jaringan Ulama Timur
Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Objek kajian yang
diteliti Azyumardi Azra adalah Sumatra, selain faktor waktu yang diteliti oleh
keduanya juga berbeda. Hanya saja, itu semua tidak mengurangi nilai penting
buku ini sebagai sebuah dokumen analisis sejarah. Buku ini mencoba memotret lebih
jauh peranan yang dimainkan etnis Cina-muslin dalam proses islamisasi Jawa pada
bentangan abad XV dan XVI. Tujuan buku ini, dengan menganalisis dan mengungkap
sisi sejarah masa itu, diharapkan sentimen primordialistik dan semangat
anti-Cina yang sudah lama mengakar di dalam persepsi masyarakat Indonesia
sedikit demi sedikit dapat berkurang atau hilang sama sekali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar